KETIKA seorang anak diminta oleh orang tuanya untuk membeli sesuatu dan meminta untuk bisa menghitung uang kembaliannya, kebanyakan anak bisa cepat memahami dalam menghitung.
Tanpa menyadari bahwa teori pengurangan pada matematika sedang dia pelajari dan kuasai, bahkan kejadian tersebut terjadi pada anak yang tidak sedang belajar hitungan sebesar uang yang sedang dipegangnya.
Banyak temuan bahwa seorang atau sekelompok siswa yang sebenarnya sedang kesulitan dalam memaknai suatu teori, tanpa disadari oleh siswa itu sendiri bahwa sebenarnya dia sudah menemukan kejadian yang memiliki kesamaan atau sekurang-kurangnya mengarah pada teori yang sedang dipelajarinya.
Kesadaran atas temuan di lingkungan anak tersebut banyak yang tidak ditangkap untuk dijadikan dasar guru dalam metode pembelajarannya. Alasan yang paling klasik adalah terlalu banyak menghabiskan waktu, sehingga target pencapaian materi pelajaran dikhawatirkan kurang terpenuhi. Kalaupun disajikan, kebanyakan guru hanya memberikannya dalam bentuk soal-soal cerita, di mana siswalah yang dituntut untuk pandai-pandai memaknai sendiri.
Sementara itu, pesan yang disampaikan kurikulum jelas-jelas mengarah pada metode pembelajaran kontekstual, sebuah pembelajaran yang mengacu pada pengalaman pribadi siswa yang mengarah pada materi yang sedang dipelajarinya.
Selama ini istilah proses belajar mengajar yang terjebak dengan pola lama menjadi istilah yang dihindari dalam inovasi pendidikan perihal proses pembelajaran. Makna dari istilah terjebak dan istilah pola lama memang merupakan istilah yang memiliki konotasi negatif. Terlepas dari istilah terjebak, temuan di lingkungannya merangsang anak untuk memahami teori yang sebenarnya ada di pelajaran formalnya. Sedangkan pola lama bukan tidak mungkin berkaitan dengan sejarah ditemukannya teori oleh penemunya.
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Kontekstual
Menyajikan permasalahan yang banyak sekali muncul di sekitar siswa merupakan bentuk pembelajaran kontekstual. Yang mana bagi beberapa guru matematika, pembelajaran kontekstual tersebut bagi sebagian guru matematika merupakan istilah yang menjemukan dan bahkan mengada-ada.
Bukan hanya karena penyajiannya yang banyak menyita waktu di kelas, tetapi lebih pada menguras kreativitas guru untuk lebih mengorelasikan ilmu yang sedang disampaikan dengan kenyataan yang muncul di lingkungan sekitar siswa. Kompleksitas permasalahan yang timbul, dirasakan guru cukup menyamarkan dasar teori yang disajikan. Sehingga bagi beberapa guru, dikhawatirkan bahwa siswa tidak menangkap esensi ilmunya, melainkan lebih tertuju pada kejadian-kejadian di sekitarnya.
Bagaimanapun, guru sebagai pelaku sebuah permainan cukup mumpuni untuk memilah dan memilih kejadian mana yang hendaknya mengarah pada dasar teori. Bahkan siswa bisa juga diarahkan untuk lebih memperhatikan cerita yang merupakan dasar ilmu yang sedang dipelajarinya. Bukankah hal tersebut menjadi alat pacu yang mampu merangsang guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar.
Mengambil Manfaat dalam Belajar
Berwisata ilmu melalui kejadian kontekstual menjadi tantangan guru untuk lebih terpacu pada mendidik siswa untuk bisa mengambil manfaat dalam mempelajari ilmunya. Meskipun sebenarnya kronologi proses pembelajaran yang ditawarkan dari kurikulum memang dimulai dari appersepsi, dengan motivasi tentang manfaat yang bisa diambil dari mempelajari suatu materi pelajaran. Penekanan motivasi ini dirasa sangat kurang dalam pembelajaran, bahkan terasa hanya sebagai syarat cukup dalam program pembelajaran.
Gambaran yang timbul di kalangan siswa yang bakalan menjadi calon ilmuwan adalah teori-teori yang membubung tinggi, sampai tidak tergambar manfaat yang bisa diambil untuk diterapkan di lingkungan masyarakat. Hal ini bisa tergambar dari kenyataan bahwa banyak para ahli yang mempelajari ilmu murni ternyata tidak mampu menerapkan ilmunya di masyarakat, atau lebih tampak pada banyaknya tenaga kerja yang tidak bersesuaian dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya di pendidikan formal.
Belajar dari Pengalaman
Memaknai perilaku terjun di masyarakat, para siswa bisa menggali ilmu yang dipelajari di sekolah untuk bisa diterapkan di kehidupan masyarakat sekitarnya. Atau sebaliknya, sebelum siswa tersebut terjun di masyarakat, hendaknya bisa dibekali berbagai teori yang aplikasinya banyak muncul di dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah kesimpulan tentang teori yang bersifat induktif, merupakan dasar teori yang banyak dihindari dalam pembelajaran matematika. Padahal berfikir logis siswa lebih banyak muncul berdasarkan pengalaman pribadi, dan lebih dimaknai sebagai bentuk pembelajaran kontekstual. Memang hal ini menjadi sebuah permasalahan dilematis bagi guru matematika dalam proses belajar-mengajar, di mana guru seolah-olah harus memilih di antara keberpihakannya pada ilmu murni atau ilmu terapan.
Terlepas dari transformasi ilmu murni, keberpihakan guru pada kepentingan siswa dalam menerapkan ilmunya di masyarakat menjadi prioritas dalam proses mendidik anak bangsa untuk bisa mengambil manfaat dalam belajar di sekolah. Karena pada akhirnya, ilmu yang dipelajari di sekolah akan diterapkan siswa di masyarakat.
Semoga para guru lebih bisa menggiring dan memotivasi siswanya pada pola manfaat dibanding hanya belajar teoritis, dengan lebih banyak berpikir kreatif dan inovatif dalam menggali materi-materi kontekstual untuk disajikan dalam proses belajar mengajar